Selasa, 21 Agustus 2012

Sekeranjang Apel


Kiriman  : Wayan Mustika

Buat sahabatku,

Seorang ibu sedang memilih apel dalam keranjang bambu di sebuah pasar.
Ia menyisihkan apel-apel  yang busuk untuk mendapatkan beberapa yang segar.
Di antara yang segar ia memilih lagi yang matang.
Di antara yang matang ia mengembalikan yang kecil ke dalam keranjang untuk mengumpulkan yang besar-besar.
Terakhir, ia pun tawar menawar untuk mendapatkan apel  yang termurah di antara apel-apel besar tadi.

Seorang ibu selalu memilih yang terbaik dari apel yang ada karena itu akan menjadi miliknya untuk dimakan dan menjadi unsur pembentuk tubuhnya.

Mayoritas orang tampaknya mirip seperti ibu tadi dalam memilih apa yang menjadi barang miliknya.
Apalagi untuk sesuatu yang hendak menjadi bagian dari tubuh kita yang masuk melalui makanan.
Tidak banyak orang yang mau menderita sakit karena hukuman atau sesuatu yang ada dalam makanan yang busuk atau tidak sehat. Inilah sifat alami yang wajar pada siapa saja; memilih yang terbaik.

Sayangnya tidak seperti saat memilih yang terbaik sebagai makanan atau minuman bagi tubuh. Kebanyakan kita tidak demikian tatkala memilih hal-hal dalam kehidupan sehari-hari untuk disimpan sebagai ‘makanan’ bagi pikiran.
Bila saja cermat mengamati diri , betapa dalam keseharian ternyata kita lebih banyak menyerap hal-hal negatif  untuk menjadi bahan-bahan yang akan membangun pikiran kita. Kemarahan, kebencian, isu dan fitnah, dendam, iri hati, dan sejenisnya. Tanpa sadar kita sedang menyerap virus akal budi ke dalam pikiran yang nantinya akan membangun seluruh sel tubuh kita.

Dan sudah menjadi rumusan bahwa setiap bahan yang terkumpul akan membentuk apa yang pantas terbentuk. Dengan kumpulan bahan-bahan negatif seperti tadi, nyatalah bahwa harapan agar bisa memiliki kedamaian, kebahagiaan, ketenangan, kesuksesan dan sejenisnya dalam kehidupan akan sulit tercapai.
Seperti berharap dapat makan nasi goreng, tetapi yang dikumpulkan adalah buah-buahan, es, susu, kolang kaling, dan sejenisnya. Mustahil.

Kelemahan terbesar dalam kehidupan ini yang paling sering membawa kita pada kegagalan adalah sifat tidak konsisten.
Seperti tadi, untuk memilih makanan tubuh kita mencari yang terbaik, namun untuk ‘makanan’ bagi pikiran kita justru lebih gemar memilih yang terburuk. Rupanya ini menjadi alasan ada banyak orang kaya yang tubuhnya sehat karena bisa memilih makanan sehat, tetapi batinnya sakit karena gagal memilih hal -hal yang baik bagi pikirannya. Begitu sebaliknya ada orang-orang miskin bersahaja yang sehat lahir dan batin karena bisa memilih segala yang terbaik bagi tubuh dan pikirannya, sekalipun itu sederhana.

Kehidupan duniawi ini seperti pasar. Ramai dan padat oleh berbagai pilihan hidup, dipenuhi berbagai aktivitas yang penting bagi kelangsungan hidup, sekaligus juga banyak hal negatif di dalamnya. Kadang ada pemalak dan pencopet, ada sampah, kecoa dan tikus, ada aroma amis dan busuk, ada senyum sinis, ada kemarahan, dan sebagainya. Begitu riuh oleh warna-warni kehidupan yang harus dipilih dengan sangat hati-hati. Siapa saja yang pernah bersentuhan dengan kehidupan pasar, mengerti bahwa dibutuhkan cukup latihan untuk bisa memilih dan menawar hal terbaik untuk dibawa pulang bagi keluarga.

Berbagai peristiwa dalam kehidupan ini mirip juga sekeranjang apel.
Mereka menjadi bahan-bahan yang akan menentukan seperti apa kehidupan yang kita miliki. Pun demikian diri setiap orang yang kita temui sehari-hari di kehidupan sosial. Dalam diri mereka terdapat sekeranjang sifat yang tercampur antara sifat kebaikan dan keburukan. Tanpa bermaksud mencemooh sifat-sifat negatif yang pada dasarnya dimiliki setiap orang, kita hanya perlu memilih sifat terbaik pada orang itu yang layak di teladani.

Memilih dan meneladan sifat-sifat baik yang ada pada diri seseorang untuk dijadikan bagian dari sifat-sifat baik kita, tak bisa dipungkiri akan memberi banyak kebaikan bagi kita.
Namun sebagaimana hal nya memilih apel terbaik di antara sekeranjang apel, tentu memilih kebaikan orang seseorang juga memerlukan latihan. Faktanya, kebanyakan kita lebih mudah melihat dan menilai keburukan orang lain, lalu mencemooh bahkan menghujat mereka atas keburukan itu. Seakan lupa bahwa kita pun tak luput dari keburukan serupa.

Mengenali keburukan atau kesalahan orang memang bukan hal yang mutlak keliru. Namun, mencemooh dan menghujat sisi negatif itu bukan pula tindakan produktif.
Bahkan, kedua sikap seperti ini justru membuat kita tergiring melakukan suatu keburukan yang lain. Kita memang perlu mengetahui untuk dapat menhindarinya agar tidak menjadi perilaku yang sama dalam keseharian kita.

Bagi yang bijak, kesalahan, keburukan, atau kekeliruan seseorang dapat dijadikan guru yang akan memberi contoh tentang hal-hal yang layak dihindari. Inilah cara belajar menjadi baik tanpa perlu mencemooh atau menghujat keburukan. Mengenali apel busuk untuk tidak memilihnya.
 
 

Jumat, 17 Agustus 2012

Renungan 17 Agoestoes


Beberapa hari yang lalu saya pergi melayat seorang kerabat keluarga, dan seperti yang bisa diharapkan, seorang suami usia 90 tahun terpukul atas meninggalnya si istri.

Sebentar-sebentar beliau menangis, jalannya lebih lamban daripada hari biasanya walaupun dengan kondisi kesehatan yang sama. Dari cerita keluarga, waktu pulang di rumah kebanyakan si suami menangis; biasa makan berdua jadi liat meja makan nangis, liat ranjang tempat mereka tidur – nangis lagi, masuk kamar mandi – nangis lagi – karena si suami kena stroke jadi harus dimandikan oleh si almarhumah istri.

Cukup mengagetkan karena si suami dari muda terkenal sebagai pedagang yang garang, dalam arti yang sesungguhnya karena beliau terkenal banyak jual – beli barang gelap (curian, sitaan, rampokan, palsu, dsbnya). Buktinya, salah satu rombongan yang hadir melayat memakai berseragam aparat.

Sementara itu di meja pengunjung, kita memberikan ucapan selamat kepada seorang encek usia 82 tahun yang jalannya juga sudah pelan. Begini ceritanya.

Si encek ini istrinya sudah lama meninggal, dan sejak anak-anaknya dewasa dan berkeluarga, si encek ini malah tinggal sendirian di rumah. Ada rasa kecewa karena anak-anaknya sibuk dengan urusan mereka dan hampir sama sekali meninggalkan si encek diurus oleh pembantu, beranggapan bahwa bapaknya bisa ngurus diri sendiri.

Tapi nasib bicara lain. Beberapa waktu yang lalu, si encek bertemu dengan seorang perempuan yang lebih muda 40 tahun. Awalnya biasa saja, tapi lama-kelamanan mereka saling jatuh hati lalu menikah secara sederhana.

Beberapa minggu lalu, seorang tetangga ditelpon sama si encek, “Lo tau dokter kandungan yang bagus ga?” tanya si encek. Spontan langsung dikasihtau, “Mungkin anaknya si encek ada masalah kandungan kali” begitu pikir si tetangga dan kejadian itu lewat begitu aja.

Semalam, kita baru tahu kalau ternyata istri si encek hamil sudah 4 bulan! Seorang tetangga rumah bahkan yakin kalau anaknya si encek pasti laki-laki. Respon si encek? “Kalau betuk nanti anaknya jantan, kita akan gelar pesta kenduri!”

Si encek tersebut, jalannya pelan tapi wajahnya melihat lurus ke depan dengan tersenyum. Sorot matanya menunjukkan bahwa dia masih mau hidup setidaknya 20 tahun lagi.

Ok, gaya penulisan ceritanya mungkin berlebihan tapi saya bukannya mengada-ngada. Faktanya memang demikian.

Saya jadi belajar bahwa setiap fase kehidupan memiliki suka duka yang berbeda-beda. Apa yang membuat kita bahagia di tahapan usia tertentu mungkin tidak ada lagi saat kita masuk ke fase usia yang lain. Kita bisa bersedih, atau bisa juga menerima bahwa segala sesuatunya berubah tapi bukan berarti kita tidak bisa bahagia.

Tulisan saya ini bukannya mengajarkan atau - yang lebih parah – menganjurkan bahwa bapak-bapak berumur 80 tahun harus kawin 2x untuk bahagia. Tapi kalau anda single, (kebetulan) berusia 80 tahun, sehat jasmani – rohani (setidaknya masih bisa kencing normal sendiri dan masih ingat apa menu sarapan hari ini), rekening bank sejumlah 9 digit atau lebih, dan bertanya-tanya “Bagaimana saya bisa bahagia lagi?”; mungkin tidak ada salahnya kalau 'kawin lagi' masuk dalam pertimbangan anda.

Salam merdeka!


Djakarta, 17 Agoestoes 2012

Sumber: anonim

-----

 

Jumat, 10 Agustus 2012

Jeritan Zaenuddin


Jeritan Zaenuddin, supir pribadi Dahlan Iskan

 
‎”Saat itu waktu sudah menunjukan lewat jam 12 malam, namun mobil yang saya kendarai masih harus berjuang menembus jalan sempit yang diselimuti kegelapan malam pedalaman Jawa Barat.”
“Sambil mengemudi, saya lihat melalui kaca spion Bapak sedang tertidur di kursi tengah. Sepertinya dingin angin malam yang berhembus melewati celah kecil jendela mobil yang dibuka mampu meninabobokan Bapak.

Memang sebelumnya Bapak meminta agar AC mobil dimatikan saja untuk menghemat pemakaian BBM, toh udara malam pegunungan Jawa Barat yang berhembus ke dalam mobil sudah lebih dari cukup untuk mendinginkan suhu kabin mobil yang kami tumpangi.”
“Bapak memang harus pintar-pintar mencari celah waktu untuk beristirahat. Hari ini saja, sudah enam agenda kerja yang Bapak selesaikan di enam tempat yang berbeda. Perjalanan menuju tempat kegiatan ketujuh ini Bapak gunakan untuk tidur. 

Kalau Bapak memilih tidur beristirahat selama perjalanan, maka biasanya saya memilih beristirahat tidur di mobil sambil menunggu Bapak menyelesaikan kegiatannya.
Berbeda dengan majikan-majikan lain yang segera menelepon sopirnya masing-masing memberi perintah untuk merapat menjemput, maka Bapak lebih sering berkeliling tempat parkir mencari mobilnya. Setelah ketemu, dengan tenang bapak akan membangunkan saya sambil bertanya apakan saya masih mengantuk. Jika saya masih mengantuk, dengan senang hati Bapak akan mengambil alih kemudi mobil. Tidak jarang Bapak malah yang menyupiri saya.” 

“Di kegelapan malam itu mobil terpaksa saya pacu lebih kencang larinya karena harus mendaki sebuah tanjakan yang sangat terjal. Ketika mobil sedang mendaki dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba jalan berbelok tajam ke kiri. Kecepatan mobil terlalu cepat untuk berbelok tajam secara mendadak! Bila dipaksakan juga, bisa-bisa mobil akan terguling!!! Secara reflek segera saya injak pedal rem dalam-dalam!!! Decitan suara ban bergesekan dengan tanah melengking memecah kesunyian malam mengalahkan takbir yang saya teriakan dalam kepanikan saya”. 
“Mobil Alphard yang saya kendarai mengayun keras karena direm secara mendadak, tubuh saya pasti terhempas keras menghantam kemudi bila tidak tertahan sabuk pengaman yang mencengkram erat pinggang dan pundak saya”.
“Jantung berdebar kencang… Segera saya melirik kaca spion melihat keadaan Bapak yang tadi tertidur di kursi penumpang belakang…. Jantung yang tadinya berdebar kencang mendadak sontak terhenti ketika saya lihat semua kursi penumpang dalam keadaan kosong… Di mana Bapak??!!”. 
 
“Abaaaaah!!!
Tidak sadar saya berteriak panik memanggil bos besar saya sambil mencari keberadaannya.”
“Terbayang hukuman keras macam apa yang akan mendera saya apabila sampai ada sesuatu yang menimpa Bapak akibat kesalahan dan keteledoran saya. 

Bapak dikenal luas sebagai pimpinan yang tegas dan keras. Jangankan karyawan kecil seperti saya, direktur petinggi perusahaan yang dulu Bapak pimpin pun tidak luput dari pemecatan sekaligus dilaporkan ke Kepolisian ketika ketahuan menyalah gunakan wewenang. Bahkan adik kandung kesayangannya pun Bapak pecat tanpa pesangon karena tidak bisa memenuhi standar kerja yang Bapak terapkan. 


Namun apapun hukumannya, seberat apa pun itu, tidak akan mampu mengalahkan perasaan bersalah saya sendiri.
Saya tidak akan mungkin mengampuni dan memaafkan diri saya sendiri apabila sampai terjadi sesuatu menimpa Bapak karena kelalaian saya… Apalagi jika Bapak sampai…”
“….ABAAAAAAH !!! Teriakan keras saya seakan menggambarkan kepanikan, ketakutan, sekaligus penyesalan saya”. 
“Tiba-tiba terdengar suara tanpa terlihat dari mana sumbernya… Sudah, sudah, tenang, tenang, anda tenang saja. Saya tidak kenapa-napa kok, ini saya cuma jatuh dari kursi saja. Ga kenapa-napa… Begitu suara yang saya dengar.”
Saya melihat ke bawah, Bapak tampak ngejoprak di lantai mobil tertutup jaket, baju, dan kertas-kertas yang bertebaran”. 
“Bapak berkata lagi… Anda tenang saja, saya tidak apa-apa… Anda tidak salah, saya yang salah… Saya minta maaf karena tadi saya tertidur dan saya tidak pakai seatbelt… Saya yang salah, saya minta maaf… Maaf sudah membuat anda panik…” 
“Ingin rasanya saya menangis… Belum sempat saya meminta maaf, malah Bapak yang duluan minta maaf… Sesak rasanya dada saya dipenuhi rasa kagum dan syukur mengetahui kebesaran jiwa majikan saya yang satu ini. 
  
Tidak heran sampai dini hari ini ada puluhan “bawahannya” yang setia menanti kedatangan Bapak sampai jam 1 pagi hanya untuk memperlihatkan secara langsung hasil kerja mereka kepada Bapak.
Tidak heran jutaan orang mengelu-elukan dan meneriakan dukungan kepada Bapak kemanapun Bapak berkunjung.”
 
(Zaenudin, Supir Pribadi Dahlan Iskan)