Kiriman : Wayan Mustika
Buat sahabatku,
Seorang ibu sedang memilih apel dalam keranjang bambu di sebuah pasar.
Ia menyisihkan apel-apel yang busuk untuk mendapatkan beberapa yang segar.
Di antara yang segar ia memilih lagi yang matang.
Di antara yang matang ia mengembalikan yang kecil ke dalam keranjang untuk mengumpulkan yang besar-besar.
Terakhir, ia pun tawar menawar untuk mendapatkan apel yang termurah di antara apel-apel besar tadi.
Seorang ibu selalu memilih yang terbaik dari apel yang ada karena itu akan menjadi miliknya untuk dimakan dan menjadi unsur pembentuk tubuhnya.
Mayoritas orang tampaknya mirip seperti ibu tadi dalam memilih apa yang menjadi barang miliknya.
Apalagi untuk sesuatu yang hendak menjadi bagian dari tubuh kita yang masuk melalui makanan.
Tidak banyak orang yang mau menderita sakit karena hukuman atau sesuatu yang ada dalam makanan yang busuk atau tidak sehat. Inilah sifat alami yang wajar pada siapa saja; memilih yang terbaik.
Sayangnya tidak seperti saat memilih yang terbaik sebagai makanan atau minuman bagi tubuh. Kebanyakan kita tidak demikian tatkala memilih hal-hal dalam kehidupan sehari-hari untuk disimpan sebagai ‘makanan’ bagi pikiran.
Bila saja cermat mengamati diri , betapa dalam keseharian ternyata kita lebih banyak menyerap hal-hal negatif untuk menjadi bahan-bahan yang akan membangun pikiran kita. Kemarahan, kebencian, isu dan fitnah, dendam, iri hati, dan sejenisnya. Tanpa sadar kita sedang menyerap virus akal budi ke dalam pikiran yang nantinya akan membangun seluruh sel tubuh kita.
Dan sudah menjadi rumusan bahwa setiap bahan yang terkumpul akan membentuk apa yang pantas terbentuk. Dengan kumpulan bahan-bahan negatif seperti tadi, nyatalah bahwa harapan agar bisa memiliki kedamaian, kebahagiaan, ketenangan, kesuksesan dan sejenisnya dalam kehidupan akan sulit tercapai.
Seperti berharap dapat makan nasi goreng, tetapi yang dikumpulkan adalah buah-buahan, es, susu, kolang kaling, dan sejenisnya. Mustahil.
Kelemahan terbesar dalam kehidupan ini yang paling sering membawa kita pada kegagalan adalah sifat tidak konsisten.
Seperti tadi, untuk memilih makanan tubuh kita mencari yang terbaik, namun untuk ‘makanan’ bagi pikiran kita justru lebih gemar memilih yang terburuk. Rupanya ini menjadi alasan ada banyak orang kaya yang tubuhnya sehat karena bisa memilih makanan sehat, tetapi batinnya sakit karena gagal memilih hal -hal yang baik bagi pikirannya. Begitu sebaliknya ada orang-orang miskin bersahaja yang sehat lahir dan batin karena bisa memilih segala yang terbaik bagi tubuh dan pikirannya, sekalipun itu sederhana.
Kehidupan duniawi ini seperti pasar. Ramai dan padat oleh berbagai pilihan hidup, dipenuhi berbagai aktivitas yang penting bagi kelangsungan hidup, sekaligus juga banyak hal negatif di dalamnya. Kadang ada pemalak dan pencopet, ada sampah, kecoa dan tikus, ada aroma amis dan busuk, ada senyum sinis, ada kemarahan, dan sebagainya. Begitu riuh oleh warna-warni kehidupan yang harus dipilih dengan sangat hati-hati. Siapa saja yang pernah bersentuhan dengan kehidupan pasar, mengerti bahwa dibutuhkan cukup latihan untuk bisa memilih dan menawar hal terbaik untuk dibawa pulang bagi keluarga.
Berbagai peristiwa dalam kehidupan ini mirip juga sekeranjang apel.
Mereka menjadi bahan-bahan yang akan menentukan seperti apa kehidupan yang kita miliki. Pun demikian diri setiap orang yang kita temui sehari-hari di kehidupan sosial. Dalam diri mereka terdapat sekeranjang sifat yang tercampur antara sifat kebaikan dan keburukan. Tanpa bermaksud mencemooh sifat-sifat negatif yang pada dasarnya dimiliki setiap orang, kita hanya perlu memilih sifat terbaik pada orang itu yang layak di teladani.
Memilih dan meneladan sifat-sifat baik yang ada pada diri seseorang untuk dijadikan bagian dari sifat-sifat baik kita, tak bisa dipungkiri akan memberi banyak kebaikan bagi kita.
Namun sebagaimana hal nya memilih apel terbaik di antara sekeranjang apel, tentu memilih kebaikan orang seseorang juga memerlukan latihan. Faktanya, kebanyakan kita lebih mudah melihat dan menilai keburukan orang lain, lalu mencemooh bahkan menghujat mereka atas keburukan itu. Seakan lupa bahwa kita pun tak luput dari keburukan serupa.
Mengenali keburukan atau kesalahan orang memang bukan hal yang mutlak keliru. Namun, mencemooh dan menghujat sisi negatif itu bukan pula tindakan produktif.
Bahkan, kedua sikap seperti ini justru membuat kita tergiring melakukan suatu keburukan yang lain. Kita memang perlu mengetahui untuk dapat menhindarinya agar tidak menjadi perilaku yang sama dalam keseharian kita.
Bagi yang bijak, kesalahan, keburukan, atau kekeliruan seseorang dapat dijadikan guru yang akan memberi contoh tentang hal-hal yang layak dihindari. Inilah cara belajar menjadi baik tanpa perlu mencemooh atau menghujat keburukan. Mengenali apel busuk untuk tidak memilihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar