Jumat, 10 Agustus 2012

Jeritan Zaenuddin


Jeritan Zaenuddin, supir pribadi Dahlan Iskan

 
‎”Saat itu waktu sudah menunjukan lewat jam 12 malam, namun mobil yang saya kendarai masih harus berjuang menembus jalan sempit yang diselimuti kegelapan malam pedalaman Jawa Barat.”
“Sambil mengemudi, saya lihat melalui kaca spion Bapak sedang tertidur di kursi tengah. Sepertinya dingin angin malam yang berhembus melewati celah kecil jendela mobil yang dibuka mampu meninabobokan Bapak.

Memang sebelumnya Bapak meminta agar AC mobil dimatikan saja untuk menghemat pemakaian BBM, toh udara malam pegunungan Jawa Barat yang berhembus ke dalam mobil sudah lebih dari cukup untuk mendinginkan suhu kabin mobil yang kami tumpangi.”
“Bapak memang harus pintar-pintar mencari celah waktu untuk beristirahat. Hari ini saja, sudah enam agenda kerja yang Bapak selesaikan di enam tempat yang berbeda. Perjalanan menuju tempat kegiatan ketujuh ini Bapak gunakan untuk tidur. 

Kalau Bapak memilih tidur beristirahat selama perjalanan, maka biasanya saya memilih beristirahat tidur di mobil sambil menunggu Bapak menyelesaikan kegiatannya.
Berbeda dengan majikan-majikan lain yang segera menelepon sopirnya masing-masing memberi perintah untuk merapat menjemput, maka Bapak lebih sering berkeliling tempat parkir mencari mobilnya. Setelah ketemu, dengan tenang bapak akan membangunkan saya sambil bertanya apakan saya masih mengantuk. Jika saya masih mengantuk, dengan senang hati Bapak akan mengambil alih kemudi mobil. Tidak jarang Bapak malah yang menyupiri saya.” 

“Di kegelapan malam itu mobil terpaksa saya pacu lebih kencang larinya karena harus mendaki sebuah tanjakan yang sangat terjal. Ketika mobil sedang mendaki dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba jalan berbelok tajam ke kiri. Kecepatan mobil terlalu cepat untuk berbelok tajam secara mendadak! Bila dipaksakan juga, bisa-bisa mobil akan terguling!!! Secara reflek segera saya injak pedal rem dalam-dalam!!! Decitan suara ban bergesekan dengan tanah melengking memecah kesunyian malam mengalahkan takbir yang saya teriakan dalam kepanikan saya”. 
“Mobil Alphard yang saya kendarai mengayun keras karena direm secara mendadak, tubuh saya pasti terhempas keras menghantam kemudi bila tidak tertahan sabuk pengaman yang mencengkram erat pinggang dan pundak saya”.
“Jantung berdebar kencang… Segera saya melirik kaca spion melihat keadaan Bapak yang tadi tertidur di kursi penumpang belakang…. Jantung yang tadinya berdebar kencang mendadak sontak terhenti ketika saya lihat semua kursi penumpang dalam keadaan kosong… Di mana Bapak??!!”. 
 
“Abaaaaah!!!
Tidak sadar saya berteriak panik memanggil bos besar saya sambil mencari keberadaannya.”
“Terbayang hukuman keras macam apa yang akan mendera saya apabila sampai ada sesuatu yang menimpa Bapak akibat kesalahan dan keteledoran saya. 

Bapak dikenal luas sebagai pimpinan yang tegas dan keras. Jangankan karyawan kecil seperti saya, direktur petinggi perusahaan yang dulu Bapak pimpin pun tidak luput dari pemecatan sekaligus dilaporkan ke Kepolisian ketika ketahuan menyalah gunakan wewenang. Bahkan adik kandung kesayangannya pun Bapak pecat tanpa pesangon karena tidak bisa memenuhi standar kerja yang Bapak terapkan. 


Namun apapun hukumannya, seberat apa pun itu, tidak akan mampu mengalahkan perasaan bersalah saya sendiri.
Saya tidak akan mungkin mengampuni dan memaafkan diri saya sendiri apabila sampai terjadi sesuatu menimpa Bapak karena kelalaian saya… Apalagi jika Bapak sampai…”
“….ABAAAAAAH !!! Teriakan keras saya seakan menggambarkan kepanikan, ketakutan, sekaligus penyesalan saya”. 
“Tiba-tiba terdengar suara tanpa terlihat dari mana sumbernya… Sudah, sudah, tenang, tenang, anda tenang saja. Saya tidak kenapa-napa kok, ini saya cuma jatuh dari kursi saja. Ga kenapa-napa… Begitu suara yang saya dengar.”
Saya melihat ke bawah, Bapak tampak ngejoprak di lantai mobil tertutup jaket, baju, dan kertas-kertas yang bertebaran”. 
“Bapak berkata lagi… Anda tenang saja, saya tidak apa-apa… Anda tidak salah, saya yang salah… Saya minta maaf karena tadi saya tertidur dan saya tidak pakai seatbelt… Saya yang salah, saya minta maaf… Maaf sudah membuat anda panik…” 
“Ingin rasanya saya menangis… Belum sempat saya meminta maaf, malah Bapak yang duluan minta maaf… Sesak rasanya dada saya dipenuhi rasa kagum dan syukur mengetahui kebesaran jiwa majikan saya yang satu ini. 
  
Tidak heran sampai dini hari ini ada puluhan “bawahannya” yang setia menanti kedatangan Bapak sampai jam 1 pagi hanya untuk memperlihatkan secara langsung hasil kerja mereka kepada Bapak.
Tidak heran jutaan orang mengelu-elukan dan meneriakan dukungan kepada Bapak kemanapun Bapak berkunjung.”
 
(Zaenudin, Supir Pribadi Dahlan Iskan)
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar