Jumat, 17 Agustus 2012

Renungan 17 Agoestoes


Beberapa hari yang lalu saya pergi melayat seorang kerabat keluarga, dan seperti yang bisa diharapkan, seorang suami usia 90 tahun terpukul atas meninggalnya si istri.

Sebentar-sebentar beliau menangis, jalannya lebih lamban daripada hari biasanya walaupun dengan kondisi kesehatan yang sama. Dari cerita keluarga, waktu pulang di rumah kebanyakan si suami menangis; biasa makan berdua jadi liat meja makan nangis, liat ranjang tempat mereka tidur – nangis lagi, masuk kamar mandi – nangis lagi – karena si suami kena stroke jadi harus dimandikan oleh si almarhumah istri.

Cukup mengagetkan karena si suami dari muda terkenal sebagai pedagang yang garang, dalam arti yang sesungguhnya karena beliau terkenal banyak jual – beli barang gelap (curian, sitaan, rampokan, palsu, dsbnya). Buktinya, salah satu rombongan yang hadir melayat memakai berseragam aparat.

Sementara itu di meja pengunjung, kita memberikan ucapan selamat kepada seorang encek usia 82 tahun yang jalannya juga sudah pelan. Begini ceritanya.

Si encek ini istrinya sudah lama meninggal, dan sejak anak-anaknya dewasa dan berkeluarga, si encek ini malah tinggal sendirian di rumah. Ada rasa kecewa karena anak-anaknya sibuk dengan urusan mereka dan hampir sama sekali meninggalkan si encek diurus oleh pembantu, beranggapan bahwa bapaknya bisa ngurus diri sendiri.

Tapi nasib bicara lain. Beberapa waktu yang lalu, si encek bertemu dengan seorang perempuan yang lebih muda 40 tahun. Awalnya biasa saja, tapi lama-kelamanan mereka saling jatuh hati lalu menikah secara sederhana.

Beberapa minggu lalu, seorang tetangga ditelpon sama si encek, “Lo tau dokter kandungan yang bagus ga?” tanya si encek. Spontan langsung dikasihtau, “Mungkin anaknya si encek ada masalah kandungan kali” begitu pikir si tetangga dan kejadian itu lewat begitu aja.

Semalam, kita baru tahu kalau ternyata istri si encek hamil sudah 4 bulan! Seorang tetangga rumah bahkan yakin kalau anaknya si encek pasti laki-laki. Respon si encek? “Kalau betuk nanti anaknya jantan, kita akan gelar pesta kenduri!”

Si encek tersebut, jalannya pelan tapi wajahnya melihat lurus ke depan dengan tersenyum. Sorot matanya menunjukkan bahwa dia masih mau hidup setidaknya 20 tahun lagi.

Ok, gaya penulisan ceritanya mungkin berlebihan tapi saya bukannya mengada-ngada. Faktanya memang demikian.

Saya jadi belajar bahwa setiap fase kehidupan memiliki suka duka yang berbeda-beda. Apa yang membuat kita bahagia di tahapan usia tertentu mungkin tidak ada lagi saat kita masuk ke fase usia yang lain. Kita bisa bersedih, atau bisa juga menerima bahwa segala sesuatunya berubah tapi bukan berarti kita tidak bisa bahagia.

Tulisan saya ini bukannya mengajarkan atau - yang lebih parah – menganjurkan bahwa bapak-bapak berumur 80 tahun harus kawin 2x untuk bahagia. Tapi kalau anda single, (kebetulan) berusia 80 tahun, sehat jasmani – rohani (setidaknya masih bisa kencing normal sendiri dan masih ingat apa menu sarapan hari ini), rekening bank sejumlah 9 digit atau lebih, dan bertanya-tanya “Bagaimana saya bisa bahagia lagi?”; mungkin tidak ada salahnya kalau 'kawin lagi' masuk dalam pertimbangan anda.

Salam merdeka!


Djakarta, 17 Agoestoes 2012

Sumber: anonim

-----

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar